首页 > 百科
Menyoal Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN)
发布日期:2025-06-17 05:50:09
浏览次数:113
Warta Ekonomi,quickq app官网 Jakarta -

Laporan Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jakalahari) berjudul; Perusahaan HTI Beroperasi Dalam Kawasan Hutan Melalui ‘Legalisasi’ Perubahan Fungsi Kawasan Hutan setebal 26 halaman itu, sebenarnya sudah tergolong lama; April 2018.

Bisa jadi di masanya, laporan ini tidak berharga dan tidak berguna. Namun sekarang, laporan ini bisa dibilang menjadi kata kunci, seperti apa sesungguhnya sengkarut di lansekap Tesso Nilo yang terhampar di 3 kabupaten; Pelalawan, Indragiri Hulu dan Kuantan Singingi Provinsi Riau itu.

Menyoal Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN)

Menyoal Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN)

Dulu, persis pada SK Menteri Kehutanan Nomor 173 tahun 1986 dan SK Menteri Kehutanan Nomor 7651 tahun 2011, lansekap seluas 337.500 hektar ini masih berstatus Hutan Produksi Terbatas (HPT).

Menyoal Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN)

Di sinilah sejak tahun 1974, PT. Dwi Martha mendapat izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA) atau orang sering menyebutnya izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Izin yang didapat berdasarkan SK Menteri Pertanian Nomor 410/Kpts/Um/7/1974 tanggal 30 Juli 1974 itu seluas 120 ribu hektar.

Menyoal Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN)

Lima tahun kemudian, di kawasan itu bertambah lagi izin HPH seluas 48.370 hektar. Izin itu didapat oleh PT. Nanjak Makmur melalui SK Menteri Pertanian Nomor 231/Kpts/Um/3/1979 tanggal 27 Maret 1979.

Pada 1990, luas HPH Dwi Martha dikurangi menjadi 105 ribu hektar. Sebab yang 15 ribu hektarnya diberikan kepada PT. Inhutani IV berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 362/Kpts-II/1993.

Dua tahun kemudian, lahan HPH Inhutani IV bertambah menjadi 57.850 hektar berdasarkan SK Menhut Nomor 1039/Menhut-IV/1995. Dua tahun kemudian, areal ini berubah menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI) berdasarkan SK Menhut Nomor 14/Kpts-II/1998.

Padahal, berdasarkan Pasal 45 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 Tentang Rencana Tata Ruang Nasional, HTI hanya boleh ada pada Hutan Produksi Tetap (HP).

Tahun 2001, gagasan menghadirkan Taman Nasional di lansekap Tesso Nilo mulai muncul. World Wide Fund (WWF) Indonesia dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Riau yang menjadi pengagasnya.

Di tahun itu pula hingga tahun 2002, surat dukungan dari DPRD dan Bupati Kampar, Kuantan Singingi serta DPRD Riau dan Gubernur Riau bermunculan; mendukung hadirnya Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN).

Tahun 2003, izin IUPHHK-HT Inhutani IV dicabut. Soalnya sebahagian lahan ini dianggap bisa menjadi TNTN tadi. Ini kelihatan dari hasil kajian Tim Terpadu yang mengatakan kalau 38.576 hektar areal Inhutani IV layak menjadi TNTN.

Setahun kemudian, Menteri Kehutanan menunjuk areal 38.576 hektar tadi menjadi TNTN berdasarkan SK Nomor: 255/Menhut-II/2004 Tanggal 19 Juli 2004. Areal ini berada di Kabupaten Indragiri Hulu dan Pelalawan.

Pasal 36 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 Tentang Rencana Tata Ruang Nasional menyebutkan bahwa; Kriteria kawasan lindung untuk taman nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (5) huruf a adalah:

a. wilayah yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami;

b. memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun jenis satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami;

c. satu atau beberapa ekosistem yang terdapat di dalamnya secara materi atau secara fisik tidak dapat diubah oleh eksploitasi maupun pendudukan oleh manusia;

d. memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam;

e. merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan dan zona lain yang dapat mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Bila merujuk pada aturan ini, areal yang ditunjuk menjadi TNTN tadi adalah areal yang sudah dijamah oleh sejumlah perusahaan. Sementara pasal ini mengatakan bahwa Taman Nasional harus areal yang utuh, asli, alami dan memiliki zona inti, zona pemanfaatan dan zona lain.

Uniknya, sepanjang tahun 1996 hingga tahun 2007, lansekap Tesso Nilo yang menghampar di bagian timur hingga barat, telah dibagi-bagikan oleh kehutanan kepada 13 perusahaan melalui izin Usaha Pemanfataan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI). Luasnya mencapai 153.530,19 hektar.

Jikalahari menyebut 5 perusahaan adalah milik Asia Pacific Resources International Limited (APRIL) Group, sementara sisanya berafiliasi dengan APRIL Group.

Izin-izin tadi, belum termasuk IUPHHK-HA milik PT. Siak Raya Timber dan Nanjak Makmur yang berada di bagian barat TNTN yang baru ditunjuk tadi. Luas izin Nanjak Makmur 48.370 hektar dan Siak Raya Timber 59.303,33 hektar.

Pemberian izin-izin IUPHHK-HTI ini juga menjadi menarik. Sebab semua areal tadi adalah HPT. Sementara, masih di Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tadi, IUPHHK-HT hanya boleh diperikan pada areal HP.

Setelah hutannya digunduli dan lahan itu kemudian digarap bertahun-tahun, tahun 2014, barulah kawasan HPT ini dirubah menjadi HP berdasarkan SK Menhut Nomor 673/Menhut-II/2014 tanggal 8 Agustus 2014. Zulkifli Hasan yang saat ini menjabat Menko Pangan, yang menjadi Menhut di masa itu.

Dua tahun setelah TNTN ditunjuk seluas 38.576 hektar, muncul desakan berbagai elemen agar TNTN diperluas menjadi 100 ribu hektar. Siak Raya Timber yang bakal terkena dampak perluasan itu, keberatan areal kerjanya dialihfungsikan menjadi TNTN. Surat keberatan itu berdasarkan Surat Direktur Nomor: 98/SRT/HPHD/III/2006 Tanggal 17 Maret 2006.

Bila Siak Raya Timber keberatan, Nanjak Makmur justru memilih mengalah. Perusahaan yang berafiliasi dengan APRIL Group ini merelakan HPH-nya seluas 44.492 hektar dijadikan areal perluasan TNTN. Ini berdasarkan Surat Direktur Nomor 001/NM/I/2007 Tanggal 9 Januari 2007.

Lagi pula, umur HPH ini juga tak lama lagi. Sebab pada tanggal 15 Oktober 2009, Menhut kemudian mengeluarkan SK Nomor 663/Menhut-II/2009 yang menyatakan kalau HPH Nanjak Makmur telah berakhir.

Dua tahun kemudian, persis tanggal 5 Mei 2011, Gubernur Riau mengeluarkan surat Tata Batas Defenitif semua areal TNTN yang ada, baik yang tahap satu maupun perluasan, melalui SK Nomor Kpts 662/V/2011.

Puncaknya, pada 28 Oktober 2014, Menhut mengeluarkan surat pengukuhan TNTN yang berada di Kabupaten Pelalawan dan Indragiri Hulu itu, seluas 81.793 hektar berdasarkan SK Nomor 6588/Menhut-VII/KUH/2014.

Lagi-lagi penetapan areal perluasan tadi menjadi TNTN juga menjadi pertanyaan. Sebab berdasarkan Pasal 57 ayat 6 Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional disebutkan bahwa: Taman nasional dan taman nasional laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) huruf f ditetapkan dengan kriteria:

a. berhutan atau bervegetasi tetap yang memiliki tumbuhan dan satwa yang beragam;

b. memiliki luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologi secara alami;

c. memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun jenis satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh;

d. memiliki paling sedikit satu ekosistem yang terdapat di dalamnya yang secara materi atau fisik tidak boleh diubah baik oleh eksploitasi maupun pendudukan manusia; dan

e. memiliki keadaan alam yang asli untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam.

Sementara, areal perluasan TNTN tadi adalah bekas HPH Nanjak Makmur yang notabene kayu-kayu di areal itu telah ditebangi.

‘Dagangan’ Seksi Bernama TNTN

Sudah bertahun-tahun orang-orang meributkan TNTN dirambah para pendatang menjadi kebun sawit. Tapi orang-orang (yang barangkali sama) tak pernah meributkan kalau lebih dari 150 ribu hektar lansekap kawasan Tesso Nilo --- malah dalam Revitasilasi Ekosistem Tesso Nilo (RETN) luasan itu mencapai lebih dari 258 ribu hektor --- yang telah berubah menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI). Areal seluas itu hanya dikuasai oleh 13 perusahaan.

Kenapa bisa begitu? Bisa jadi lantaran bahasa "Taman Nasional" itu memang teramat seksi, terlebih 10 tahun terakhir, ketika dunia makin sibuk menyuarakan perubahan iklim hingga pelestarian alam.

Belum lagi bila Taman Nasional ini diboncengi oleh Non Government Organization (NGO) yang menjadikannya objek gelontoran duit funding yang besaramıya 'tak berseri', yang dengan mudah berkampanye dan lobi sana-sini, Taman Nasional tentu semakin teramat seksi.

Alhasil, oleh kampanye, lobi, dan keseksian tadi, orang tak ambil pusing lagi tentang asal muasal hingga kebenaran proses berdirinya Taman Nasional itu. Yang ada di dalam benak mereka adalah bahwa Taman Nasional merupakan gugusan hutan alam asli nan asri yang menjadi habitat flora dan fauna; warisan untuk anak cucu yang tak boleh diusik oleh siapapun!

Pemikiran semacam ini tersematkan juga kepada TNTN. Itulah makanya ketika bahasa "TNTN dirambah" berdengung, orang-orang langsung menaruh simpati. Apalagi ditambah dengan embel-embel “pendatang” meski mereka adalah anak jati Bumi Pertiwi, rasa simpati itu semakin tinggi. Maka apapun dan siapapun yang berupaya menyelamatkan TNTN, akan dianggap sebagai pahlawan.

Sekali lagi, dengan situasi seperti itu, nalar orang-orang tak lagi menyelusup jauh kepada kisah muasal TNTN itu, hamparan lahan yang sesungguhnya telah lebih dulu "dirudapaksa" oleh gergaji-gergaji mesin milik perusahaan, baru kemudian diusulkan menjadi TNTN. Sementara aturan dimasa itu meminta, areal Taman Nasional adalah hutan alami dengan sederet persyaratan lain.

Lantaran fokus dengan bahasa Taman Nasional tadi, orang-orang tak mau tau lagi dengan lansekap Tesso Nilo yang luasnya dua kali lipat TNTN itu — *yang tutupan kayunya antara 89-110 meter kubik per hektar* — telah benar-benar dihabisi oleh perusahaan yang izinnya melanggar aturan.

Bayangkan bila hanya 2.650 hektar saja tutupan hutan itu dibabat kata Jikalahari dalam laporannya November 2008, untung yang masuk ke kocek perusahaan lebih dari Rp146 miliar.

Pertanyaan yang kemudian muncul, benarkah TNTN dirambah (tanpa melihat yang merambah itu masyarakat atau cukong) para pendatang? Jawabannya tentu tidak sepenuhnya iya.

Bila merunut pada kisah muasal TNTN yang pertama kali ditunjuk pada 2004 dan kemudian bersama-sama dengan areal perluasan TNTN ditatas batas pada 2011, maka sepatutnya, hak-hak orang yang sudah ada di areal itu, harus dikeluarkan dari areal yang akan menjadi TNTN pada saat proses penataan batas.

Kerja-kerja semacam ini diperintahkan oleh pasal 19 ayat 2 huruf c dan d serta pasal 20 ayat 3 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan. Terlebih hingga tahun 2016 saja, kawasan hutan di Riau masih berstatus penunjukan.

Malah pasal 22 ayat 2 peraturan yang sama mengatakan; dalam hal penataan batas kawasan hutan temu gelang tetapi masih terdapat hak-hak pihak ketiga yang belum diselesaikan, maka kawasan hutan tersebut ditetapkan oleh Menteri dengan memuat perjelasan hak-hak yang ada didalamnya untuk diselesaikan oleh Panitia Tata Batas yang bersangkutan.

Lalu bagaimana dengan masyarakat yang datang ke TNTN setelah areal itu dikukuhkan? Ada Pasal 24 dan 28 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Kehutanan yang mengatakan begini;

Pasal 24 ayat 1; Penguasaan bidang tanah dalam Kawasan Hutan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 wajib memenuhi kriteria:

a. penguasaan tanah di dalam Kawasan Hutan Negara oleh Masyarakat dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;

b. dikuasai paling singkat 5 (lima) tahun secara terus menerus;

c. dikuasai oleh Perseorangan dengan luasan paling banyak 5 (lima) hektar;

d. bidang tanah telah dikuasai secara fisik dengan iktikad baik secara terbuka; dan

e. bidang tanah yang tidak bersengketa.

Pasal 28; Pola penyelesaian penguasaan bidang tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) yang dikuasai oleh perseorangan atau badan sosial/keagamaan:

a. di dalam Kawasan Hutan Konservasi, dilakukan dengan kemitraan konservasi dengan tampa memperhitungkan keaukupan luas Kawasan Hutan dari luas DAS, pulau, dan/atau provinsi.

Pada 10 Juni 2025 Ialu, Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas-PKH) yang dikomandani oleh Jampidsus Kejaksaan Agung, mendatangi TNTN, persis di kawasan Dusun Toro Jaya Desa Lubuk Kembang Bunga Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau.

Di areal kebun kelapa sawit yang ditebangi sebelum Satgas datang itu, kemudian ditancapkan pengumuman agar masyarakat yang ada di semua areal TNTN segera melakukan relokasi mandiri paling lambat 22 Agustus 2025.

Ada 6 desa yang terdampak TNTN itu; Segati, Bukit Kusuma, Gondai, Lubuk Kembang Bunga, Air Hitam dan Bagan Limau. Jumlah penduduk yang terdampak versi Satgas PKH adalah 5.850 Kepala Keluarga.

Menengok pengumuman itu, sontak saja semua masyarakat yang telah bermukim di sana sebelum dan sesudah TNTN itu dikukuhkan, blingsatan. Sebab tak ada ruang yang dibuka bagi mereka untuk minimal, sebahagian nya masih bisa bertahan di sana oleh aturan yang ada.

Keseksian bahasa "Taman Nasional" tadi telah menutupi semuanya, termasuk menutupi sederet aturan yang membolehkan orang-orang memiliki hak untuk bertahan di sana.

Berita di sejumlah media yang salah satu judulnya "Satgas Rebut Kembali 81 Ribu Hektar Hutan Tesso Nilo" yang telah menyebar, TNTN pun semakin seksi dan masyarakatakat yang dituding merambah di sana, kian terpojok.

Sejatinya, penertiban kawasan hutan ini adalah sesuatu yang fair, kajian hukum dilakukan secara menyeluruh. Bukan hanya berpatokan pada kawasan hutan versi kehutanan. Mulai dari proses dan kelalaian yang dilakukan oleh kehutanan, pelanggaran oleh masyarakat dan perusahaan, hingga tentang musnahnya lansekap Tesso Nilo tadi, harus ditelusuri.

Bila kajian itu tuntas dan kemudian akan ada masyarakat yang musti hengkang dari TNTN atau kawasan hutan lantaran benar-benar tidak ada lagi regulasi yang mendukung dia untuk tetap bisa bertahan di sana, tentu menjadi keharusan dia hengkang. Termasuk jugalah menghengkangkan mereka-mereka yang dianggap cukong.

Meski akan terkesan report membikin kajian, tapi hasilnya akan berkeadilan bagi semua pihak. Dengan begitu, kondusifitas negeri ini akan tetap terjaga.

Namun bila penegakan hukum hanya lantaran desakan orang yang sesungguhnya hanya tahu ‘kulit’ nya saja tentang TNTN, atau hanya karena keseksian isu hingga kemudian melanggengkan pelanggaran yang terjadi di lansekap Tesso Nilo, tentu ini akan menyisakan duka yang mendalam. Sebab akan banyak rakyat yang utamanya tidak bersalah, menjadi korban.

Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud menghalangi penertiban kawasan hutan, terlebih TNTN. Tapi justru sangat mendukung. Itulah makanya tulisan ini muncul sebagai pengingat, agar proses penertiban itu benar-benar berkeadilan.

Sebab tidak selamanya rakyat yang bersalah atas kawasan hutan itu, tapi hebohnya rakyat lantaran tanahnya kemudian disebut kawasan hutan, adalah sebentuk sinyal bahwa sebenarnya, sejak lama, ada yang tak beres dalam proses penunjukan hingga pengukuhan kawasan hutan itu. Termasuk ketidakberesan dalam menjaga kawasan hutan yang ada.

上一篇:Simak Lokasi dan Jadwal Kirab Waisak 2024 di Candi Borobudur
下一篇:Anies: Saya Terus Awasi Tanah Abang
相关文章